“Wow…, tubuh tinggi semampai, wajah lonjong khas wong Jowo, penampilan modis namun tetap sopan, ditambah tutur bahasa halus bahkan nyaris tak terdengar. Ini benar-benar bidadari idamanku. Tapi…ah, mana mungkin.” Berkali-kali Ryan menatap sekaligus memuji sosok makhluk cantik di hadapannya. Namun berkali-kali pula ia hanya mengelus dada, menunduk dan berucap dalam hati, tak mungkin….tak mungkin…tak mungkin.
Meski mata hati menciut, namun kedua kelopak matanya tetap sulit berhenti mengikuti gerak luwes si empunya rambut panjang tersebut. Sesekali Ryan berusaha melempar pandangan ke arah lain. Ini tak lain untuk menghindari tubrukan mata keduanya.
Pujian, sanjungan dan rasa di hati mudah diselimuti tebal-tebal. Tapi, keinginan menatap lekat-lekat…, ah, rasanya tak mungkin. Toh, batin Ryan, mumpung wanita cantik itu tak keberatan. Lagipula, bukankah akan dapat pahala jika menyenangkan hati orang lain. Hahahaha…, Ryan tergelak dalam hati. Apapun alasannya, semuanya itu hanya pembenaran agar ia dapat terus menatap sang bidadari itu.
***
“Ryan, kenalkan. Ini saudara sepupuku dari Yogjakarta. Namanya Tantri,” ujar Bimo. Tiba-tiba lamunan Ryan hancur berkeping-keping. Tak beda dengan puzzle yang dibongkar oleh seorang anak kecil. Padahal, hanya berselang semenit Ryan menyeruput Sup Buah Pak Min, tiba-tiba ia telah jatuh ke dasar jurang kekagetan.
Sup buah made in Pak Min yang terkenal se-jagad kampus Depok itu tiba-tiba hambar. Lidah Ryan tak mampu mengecap rasa. Pun nafas di tenggorokan tercekat hingga ke ulu hati.
“Bidadari…bidadari…bidadari itu,” pekik Ryan. Entah berapa kali ia meneriakan kata-kata itu. Benar-benar kencang tapi tak terdengar oleh siapapun. Bisa jadi jantung, paru-paru, lambung dalam tubuh Ryan saja yang peduli. Mereka kesal karena aliran darah dihentikan secara mendadak.
“Kenalkan, saya Tantri, Kak.” Lagi-lagi alam sadar Ryan dibangunkan dan kali ini ia merasa harus bisa bangun. “Eh iya, nama saya Ryan. Ambil jurusan apa?,” tukas Ryan. Ryan berusaha menguasai diri. Ia hanya berucap sedikit, kuatir jika Tantri tahu apa yang berkecamuk dalam dirinya.
Obrolan terus mengalir. Ryan semakin yakin kalau Tantri memang bidadari idamannya. Namun ia terus tarik ulur dengan hatinya. Apalagi ketika ia harus menundukkan kepala. “Tidak, tidak mungkin. Jangan pernah berpikir macam-macam.”
(bersambung)
Pingback: Luka Itu Belum Sembuh (bagian 2)
Pingback: Luka Itu Belum Sembuh (bagian 3)
Pingback: Luka Itu Belum Sembuh (Bagian 4)
Pingback: Luka itu Belum Sembuh (Bagian 5-Selesai)