Cerita sebelumnya di sini.
Tak ada salahnya berteman. Pikiran ini selalu ditanamkan di hati Ryan tiap kali jalan-jalan bersama dengan Tantri. Toh, batin lelaki asalSemarangitu, mereka jalan bersama dengan Bimo dan teman-teman lainnya.
Hari berganti, keakraban antara Ryan dan Tantri terus terjalin. Lembaran jarak mulai terlipat dengan sendirinya. Bahkan tanpa segan-segan Tantri bercerita tentang keluarganya yang hanya mengandalkan penghasilan bapaknya sebagai seorang petani.
“Untunglah, sejak kecil aku paling suka berolahraga. Apalagi yang namanya bola volly. Aku dipercaya sejak kelas 6 SD ikut memperkuat tim volly kelurahan. Maklum, badanku kan bongsor. Jadi, selalu dapat tugas blocking,” cerita Tantri suatu saat. Wanita lembut itu bercerita begitu antusias, namun aku tak peduli.
Ahh…volly, mendengarnya saja aku malas. Apalagi harus membahasnya. Pilih topik pembicaraan lain sajalah. Ini omongan yang paling menjemukan dan membuat kepalaku pening. Ryan protes dalam hati, namun Tantri tak menggubris. Wanita bermata sendu itu terus saja memuji-muji olah raga tersebut.
Suatu hari jejak Tantri lenyap. Terhitung sudah 4 hari Ryan tak menemukannya di kampus. Padahal biasanya Tantri selalu makan siang bersama di kantin. Ryan yang tadinya berusaha menutupi rasa ingin tahunya, tergoda juga untuk menanyakan Tantri pada Bimo.
“Loh, kamu tidak tahu? Tantri kan sedang ikut kejuaraan diBeijing selama seminggu,” jawab Bimo rileks. “Kejuaraan. Memangnya dia ikut apa?,” tanya Ryan penasaran. “Dia itu atlet nasional bola volly,” jawab Bimo sembari berlari menuju ruang kelas. Bel masuk telah berbunyi.
Tinggallah Ryan yang melongo di koridor kampus. “Atlet.., atlet. Kenapa dia tak cerita dari awal kalau dia atlet nasional. Ah, bodohnya aku. Lebih baik tak kenal, daripada berhubungan dengan orang yang kenal dengan istilah satu itu,” batin Ryan dongkol.
(bersambung)
Pingback: Luka itu Belum Sembuh (Bagian 5-Selesai)
Pingback: Luka Itu Belum Sembuh (bagian 3)