Hargailah dirimu dulu, sebelum meminta orang lain menghargaimu. Ungkapan ini baru saja menyentilku sore ini. Bermula dari keluhan si sulung,” udah, ya, Ma. Tanganku capek harus nulis sambung terus.” Tanpa menunggu jawaban, pensil di tangan pun langsung diletakkan di atas meja belajar. Kemudian berlanjut dengan menyerahkan semuanya pada si Mbak.
Ah, dasar anak-anak, pikirku..
Sambil menyeruput teh manis hangat, tiba-tiba pikiran meremehkan anakku tadi, terbantahkan. Sebuah kejadian beberapa waktu lalu menampik keluhan si kakak. Ya, lempar pekerjaan ternyata bukanlah milik anak-anak semata.
Seorang sahabat bercerita, baru-baru ini dirinya diminta untuk mendesain sebuah company profile sebuah perusahaan multinasional. Tapi, karena suatu hal, temanku itu diminta mencarikan orang yang menyusun redaksionalnya. “Sudahlah, kita cari bahannya dulu, setelah itu kita bayar orang untuk menulis,” ujarnya dengan mantap. Istilahnya, pekerjaan di-outsourcing-kan.
Lalu, apa bedanya dengan pelimpahan pekerjaan oleh temanku tadi. Mirip, tentunya.
Kedua kisah tadi sama-sama menunjukkan bahwa kompetensi orang yang melakukan pekerjaan atau tugas tidaklah dapat dipertanggungjawabkan. Dan ini terjadi karena tidak adanya penghargaan atas sebuah pekerjaan atau tugas. Bukan hanya bagi yang menerima tapi juga pemberi tanggung jawab.
Bagaimana mungkin hasil pekerjaan si mbak dan orang bayaran menulis tadi bisa optimal jika bukan didasarkan pada kemampuannya. Dan bagi pengemban tugas pun begitu. Bagaimana mungkin ia bisa dihargai kalau dirinya tidak meningkatkan kemampuan dengan menyelesaikan pekerjaannya tersebut. Disinilah, perlunya menghargai diri sendiri terlebih dahulu, sebelum meminta orang lain menghargai kita.
#